Kamis, 21 April 2011

Mimpi-mimpiku


Mimpi-mimpiku Diawal Tahun 2006
Aku Bermimpi Memiliki LPTK Bermutu 
Akubermipi Indonesia akan memiliki Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) bermutu. LPTK sebagai suatu lembaga yang menghasilkan lulusan seorang guru, harus menjadi suatu lembaga ”elit” sehingga menarik calon mahasiswa dari kelompok pemuda bangsa terbaik dan berbakat untuk menjadi guru. LPTK harus dapat menumbuhkan suatu motivasi dan kebanggaan calon guru akan profesinya.
Suatu saat, aku akan memandang dengan takjub ketika putra-putri terbaik berebut untuk dapat terseleksi masuk LPTK seperti berebut kursi di kantor DPR. Tentu amat berbeda antara berebut kursi DPR dengan kursi di LPTK. Masuk LPTK tidak membutukan dana kampaye milyar rupiah, cukup mengandalkan intelektualitas, moralitas dan jiwa profesionalisme.
LPTK harus menyeleksi calon mahasiswa, seperti anggota dewa menyeleksi calon presiden. LPTK harus memiliki kriteria ketat tentang syarat kelulusan seorang calon guru. Sehingga LPTK bukan lagi sebagai lembaga alternatif, karena tidak dapat bersaing di Fakultas Kedokteran atau Fakultas Teknik.  

Aku Bermimpi Memiliki Guru Bermutu
Aku bermimpi suatu saat Indonesia akan kebanjiran guru-guru bermutu. Sehingga kegiatan belajar mengajar menjadi suatu kegiatan yang menarik, kreatif dan inovatif karena ditangani seorang guru profesional. Sebuah peribahasa Jepang mengatakan Sehari bersama guru yang hebat lebih baik daripada ribuan hari belajar dengan rajin.” Peribahasa tersebut akan menjadi kenyataan kelak di Indonesiaku.
Kita boleh bercermin ke negara Jepang ketika Hiroshima dan Nagasaki di Bom atom oleh sekutu. Kaisar Jepang bertanya, “Berapa orang guru lagi yang tersisa?” Kaisar tidak bertanya berapa tentara atau militer lagi yang tersisa, tetapi berapa guru. Hal ini menyatakan bahwa untuk membangun suatu bangsa besar yang dibutuhkan adalah seorang guru yang bermutu.  
Mengapa? Karena guru adalah pekerjaan profesi. Profesi bukan sekedar pekerjaan atau vocation, melainkan suatu vokasi  khusus yang mempunyai ciri-ciri expertise; keahlian; responsibility; tanggung jawab; dan corporateness; rasa kesejawatan. National Education Association (NEA) menyarankan kriteria pekerjaan profesional:
1)      Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
2)      Jabatan yang manggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
3)      Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama.
4)      Jabatan yang memerlukan ‘latihan dalam jabatan’ yang 
       bersinambungan.
5)      Jabatan yang menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
6)      Jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri.
7)      Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
8)      Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
Pernyataan NEA di atas, menjelaskan bahwa kriteria guru adalah seseorang yang memegang jabatan yang intelektual berarti pintar, berilmu pada bidang mata pelajaran tertentu. Oleh karena itu, jabatan guru dinamakan jabatan profesional. Guru yang profesional akan mempersiapkan diri dalam mengajar secara profesional juga.
Aku bermimpim memiliki pendidikan yang baik, yang tentunya berawal dari guru yang baik pula. Guru yang baik tentu profesional. Guru yang profesional tentu memiliki tanggung jawab terhadap profesinya.
Jabatan guru seharusnya bukan jabatan yang terpaksa karena tidak dapat bersaing di lapangan pekerjaan lain. Namun kenyatan yang ada, ketika saya bertanya kepada teman sejawat, “Mengapa anda memilih pekerjaan sebagai guru?” Dia menjawab, ”Saya terpaksa menjadi guru karena tidak lulus di kedokteran.” Aku sangat kecewa mendengar jawaban tersebut. Karena jabatan guru yang kuimpikan adalah suatu jabatan yang diperebutkan oleh anak-anak bangsa yang cerdas, bukan anak bangsa yang kalah bersaing.

Aku Bermimpi Guru Hidup Sejahtera
Aku bermimpi gaji guru sepadan dengan gaji seorang presiden. Seperti halnya di Jepang. Gaji seorang guru satu tingkat di bawah kaisar. Gaji guru bukan lagi gaji si Umar Bakri yang setiap bulan harus mencari tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Aku bermimpi gaji guru di Indonesia sepadan dengan gaji guru di Amerika Serikat yang 2/3 gajinya tersisa setiap bulannya. Jika kesejahteraan guru terjamin, maka guru dapat bekerja secara profesional, yang seluruh waktunya dapat dicurahkan untuk menjadi pendidik.
Suatu pernyataan yang kerap muncul ialah: usaha apa yang paling tepat untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu guru? Apakah melalui penataran, pendidikan penjenjangan atau penyetaraan, pelatihan dan pembinaan? Atau meningkatkan profesi guru dengan meningkatkan kesejahteraannya terutama gaji?
Saya berpendapat peningkatan kesejahteraan gurulah yang paling berpengaruh meningkatkan mutu guru. Besarnya gaji guru akan mengangkat profesi guru sebagai pekerjaan ”elit” yang diburu anak bangsa. Dengan demikian, pemerintah dapat menentukan kriteria khusus bagi calon guru. Kalau boleh guru adalah pegawai kontrak yang dapat diputuskan masa kontraknya jika tidak berkualitas dan profesional.

Aku Bermimpi Pendidikan Indonesia Melimiki Kurikulum Bermutu
Aku bermimpi pendidikan di Indonesia memiliki kurikulum bermutu. Kurikulum yang dapat mencerdaskan intelektual, emosional sekaligus etis-religius. Karena di tengah menurunnya moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, korupsi meraja lela, dan perilaku keseharian yang menyimpang, pendidikan moral yang menekankan dimensi etis-religius lah yang tepat untuk diterapkan.
Kenyataannya, tradisi pendidikan di Indonesia belum menuju pendidikan yang ber-kinerja dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi belum menjadi tujuan pendidikan. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.
Kurikulum 2004 atau KBK atau KTSP telah berusaha menjawab semua permasala-han di atas. Namun, kurikulum 2004 yang ceritanya dapat menghargai semua kemampuan siswa, ternyata tidak 100% diterapkan. Tampaknya pemerintah setengah hati dalam menerapkan suatu pembaharuan. Guru dibuat bingung, siswa apa lagi. Dampaknya pada ujian nasional 2006, angka kelulusan melonjak. Pada tingkat SMA dari 80,76% naik menjadi 92,50%, dan untuk SMK dari 78,29% menjadi 91,00%. Sayangnya hasil ujian nasional yang gilang gemilang didapat dari proses manipulasi guru.
Para guru menyadari risiko atas apa yang dilakukannya, tapi ujian nasional telah merampas hak pedagogis dalam menentukan kelulusan. Gurulah yang mengetahui seluk-beluk mengenai murid, tapi kenapa pemerintah yang memutuskan siapa yang berhak atau tidak berhak lulus dengan hanya ditentukan beberapa mata pelajaran. Campur tangan tersebut jelas menggambarkan rendahnya kadar kepercayaan pemerintah terhadap kinerja guru.
Dasar resentralisasi ujian akhir karena adanya asumsi yang dihembuskan pemerintah, bahwa buruknya mutu pendidikan karena guru dan murid malas belajar. Agar mereka rajin, penentuan kelulusan harus diambil alih. Padahal sebenarnya, pemerintahlah yang gagal dalam menjalankan kewajiban menyediakan layanan pendidikan bermutu. Guru dan murid tidak nyaman menjalankan proses belajar-mengajar.
Melalui kebijakan ujian nasional, daerah dan sekolah dipaksa membenarkan asumsi pemerintah. Padahal kondisi nyata tidak memungkinkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Karena jujur saja pelayanan pendidikan di daerah umumnya masih buruk. Maka untuk mempertaruhkan nama daerah dan sekolah. Guru memilih cara instan, yaitu dengan melakukan manipulasi.
Kondisi tersebut menimbulkan penekanan berjenjang. Pemerintah daerah yang ditekan pemerintah pusat akan menekan sekolah. Sehingga ujian nasional tidak lagi berhubungan dengan kepentingan pendidikan, tapi menjadi alat mencapai kepentingan politik. Yaitu memuaskan kebutuhan pemerintah pusat, juga mengangkat citra daerah karena dianggap berhasil memajukan pendidikan.
Kejadian di atas merupakan bukti nyata kegagalan di dunia pendidikan dalam pembentukan karakter manusia agar hidup penuh kejujuran dan selalu dipandu nurani. Kegagalaan tersebut dapat menjadi salah satu penyebab merebaknya korupsi di tanah air. Karena guru telah menanamkan virus kepada anak didik, bahwa sukses bisa diperoleh dengan cara manipulasi yang seolah sah-sah saja. Peristiwa itu juga menggoreskan catatan seumur hidup di hati anak. Manipulasi hasil ujian nasional telah merobohkan prinsip kejujuran. Akibatnya, jika suatu saat guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran, anak akan menilai semua itu bisa ditawar. Singkatnya, secara moral guru tidak lagi punya wibawa untuk mengajarkan kejujuran di mata anak didiknya.
Ketika pendidikan tidak lagi mengutamakan prinsip-prinsip moralitas, maka akan melahirkan generasi yang bobrok dan berpotensial membunuh nalar sehat dan hati nurani. Padahal, seseorang akan merasa lebih berharga saat mampu meraih kebahagiaan bathin, yaitu intelektual, estetika, moral, dan spiritual. Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat lahiriah sampai yang bersifat batiniah dan spiritual.
Produk pendidikan di Indonesia selama ini amat kurang membantu pertumbuhan spiritualitas anak, melupakan akal budi dan emosi. Sehingga anak sulit mengagumi tiupan lembut angin terhadap awan,  tetesan air hujan terhadap bumi, kekompakan hidup dunia lebah yang merupakan ayat-ayat Allah sebagai bahasa alam yang semua itu merupakan bacaan terbuka yang amat indah.
Sebagai bangsa yang menyongsong kemajuan Iptek yang amat pesat, kita masih harus berkutat dengan kualitas pendidikan. Terlepas dari kesahihan standar kualitas dalam Ujian Nasional, hasil yang diperoleh di tingkat SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan kurang dari 60% dari materi yang dikuasai siswa. Hanya 24,12% SMP/MTs yang masuk kategori "sedang" ke atas. 0,03% tergolong "baik sekali" dan 2,14% tergolong "baik".
Terlepas dari berapa persen materi yang dikuasai siswa, sesungguhnya suatu pendidikan dipandang bermutu diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian. Dalam bahasa UNESCO mampu moulding the character and mind of young generation.
Oleh karena itu, masa depan bangsa yang kuimpikan adalah membangun bangsa melalui pendidikan dengan merancang suatu sistem pendidikan demokratis yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Atas dasar ini pula, pendidikan yang demokratis, tidak mengenal ujian nasional untuk memilih dan memilah. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan:
(1)  Menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru;
(2)  Menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar;
(3)   Evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.


Aku Bermimpi Pendidikan di Indonesia Dapat Meningkatkan Kesejahteraan 
Berdasarkan buku terakhirnya William Schweke, Smart Money: Education and Economic Development, menjelaskan bahwa pendidikan yang bermutu akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan, keterampilan,  menguasai teknologi, dan juga menumbuhkan iklim bisnis yang sehat bagi pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan memberi kontribusi secara signifikan terhadap maju mundurnya suatu negara telah menjadi kebenaran yang bersifat aksiomatik. Investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi negara. Pencapaian pendidikan pada semua tingkat akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sebaliknya, kegagalan dalam membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem mendasar, seperti pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.
Demi mewujudkan mimpiku, bolehlah Indonesiaku bercermin ke Korea. Peranan pendidikan terhadap pembangunan ekonomi dapat dilihat dari perkembangan ekonomi di Korea. Semula Korea yang secara ekonomi tertinggal, ternyata mampu mengungguli dua negara di Afrika yaitu Kenya dan Zimbabwe.
Yang-Ro Yoon seorang peneliti ekonomi Bank Dunia, dalam Effectiveness Born Out of Necessity: A Comparison of Korean and East African Education Policies, menge-mukakan sejumlah temuan menarik. Pada dekade 1960-an GNP per kapita Korea hanya 87 dollar AS, sementara Kenya 90 dollar AS. Memasuki dekade 1970-an GNP per kapita Korea mulai meningkat menjadi 270 dollar AS, namun masih lebih rendah dibanding Zimbabwe yang telah mencapai 330 dollar AS.
Memasuki dekade 1980-an, pembangunan ekonomi di Korea berlangsung amat pesat. Bahkan antara periode 1980 dan 1996 dapat dikatakan sebagai masa keemasan, negeri gingseng itu mampu melakukan transformasi ekonomi secara fundamental. Pada tahun-tahun itu pertumbuhan ekonomi Korea melesat jauh meninggalkan Kenya dan Zimbabwe.
Keberhasilan Korea dalam membangun ekonomi, kuncinya adalah komitmen yang kuat dalam membangun pendidikan. Berbagai penelitian membuktikan, dasar pendidikan di Korea memang amat kokoh. Pemerintah Korea mengambil langkah-langkah jitu pada tahun 1960-an s.d. 1990-an. Program wajib belajar pendidikan dasar berhasil dituntaskan tahun 1965, sementara Indonesia baru mulai tahun 1984. Wajib belajar jenjang SMP berhasil dicapai tahun 1980-an; dan jenjang SMA secara universal pada periode yang sama. Selain itu, jenjang pendidikan tinggi mengalami peningkatan, lebih dari setengah anak-anak usia sekolah pada tingkat ini telah memasuki perguruan tinggi.
Komitmen Pemerintah Korea terhadap pembangunan pendidikan itu tercermin pula pada  anggaran pendidikan mencapai 15 persen dari total belanja negara, guna mendukung universal basic education maka terus meningkat secara reguler menjadi 23 persen tahun 1971. Setelah program ini sukses, Pemerintah Korea mulai menurunkan anggaran pendidikan antara 14 sampai 17 persen dari total belanja negara. Menyadari bahwa pendidikan dasar merupakan bagian dari public good, maka Pemerintah Korea mengalokasikan anggaran untuk pendidikan dasar jauh lebih besar dibanding tingkat menengah dan tinggi.
Bercermin pada pengalaman Korea, pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah nyata dalam upaya membangun pendidikan nasional. Investasi di bidang pendidikan secara nyata telah berhasil mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan sosial. Karena segala permasalahan di Indonesia -- rawan konflik, rawan bencana, rawan kecelakaan, rawan peraturan -- bermuara pada masalah ekonomi dan kesejahteraan yang dirasakan masyarakat atau kasarnya ujung-unjungnya duit. 
Semoga dengan perbaikan dibidang pendidikan dapat mengantarkan bangsa Indonesia ke suatu negara yang diimpi-impikan rakyatnya.  Yaitu, negara Indonesia yang merdeka dari segala bentuk penjajahan dan penindasan, adil, sejahtera lahir batin, aman sentosa, damai, makmur, dan sebagainya dan sebagainya. Semoga aamiin.

Yang Datang dan Yang Pergi


Yang Datang dan Yang Pergi
Oleh: Dra. Eulis Anggia Budiarti, M. Pd.
P
etir terasa menyambar di atas kepalaku, badanku lemas. Gundukan tanah merah ini menjadi saksi yang datang dan yang pergi silih berganti. Air mataku telah habis untuk sebuah kesepian yang tiada ujung.
Lonceng pulang telah berbunyi. Aku berkemas-kemas membereskan buku-buku yang berserakan di atas meja. Anak-anakpun mulai ribut bak sarang tawon berkemas-kemas pulang. Terdengar lantang sang ketua kelas menyiapkan.
“Siap grak, berdoa dimulai” sejenak kelas terasa sunyi .
“Selesai. Beri salama!!” ketua kelas kembali memberi perintah.
”Terimakasih bu” suara koor anak-anak bergema. Kembali kelas ribut bak sarang tawon.
”Ya, selamat siang!” aku ke luar kelas, diiringi anak muridku. Itulah pekerjaan rutinitasku.
Hujan mengguyur kota Jayapura takhenti-henti sejak seminggu yang lalu. Guru-guru yang membawa payung satu-satu telah meninggalkan sekolah. Tinggal aku dan pace Jarius pejaga sekolah. Sekolah sepi, aku mulai cemas. Wah bagaimana kalau hujan tidak juga berhenti.
”Ibu tidak bawa payung?” pace Jarius memecah kesunyian, karena dari tadi aku hanya diam mematung menatap tetesan air hujan.
”Tidak” jawabku singkat.
”Mau kupinjamkan payung?” tawarnya hati-hati.
”Tidak terima kasih” jawabku singkat pula.
”Hari mulai sore, nanti ibu kemalaman. Sepertinya hujan enggan reda.” pace Jadius mulai mencemaskanku.
”Ibu jalanyah!” aku berkemas meninggalkan sekolah, ketika kulihat hujan mulai mereda.
”Ya bu, hati-hati!” jawabnya mencemaskanku. Tapi aku tidak perduli. Aku lari-lari kecil menerobos rintik hujan yang mereda.
”Sore bu guru, baru pulang yah!” sapa Joy supir bis sekolah dengan mulut merah penuh ludah pinang, ketika berpapasan di gerbang sekolah.
”Yah!” jawabku takperduli.
”Mari saya antarbu, kebetulan kita sejalankan!” tiba-tiba pak Aris menghampiriku dengan motornya. Oh dia belum pulang juga rupanya, dimana tadi, gumanku dalam hati.
”Tidak trimakasih” jawabku sambil terus berjalan.
”Hari sudah mulai sore bu, mobil ke Waena sudah mulai jarang, apa lagi ke Expo mungkin sudah tidak ada lagi ojek. Mari saya antar!” ajaknya sekali lagi.
”Saya jalan saja pak.” tolakku seramah mungkin.
”Kalau begitu biar saya jalan di samping ibu.” katanya lagi dengan sopan.
”Tidak usah pak. Bapak punya keperluan lain. Silahkan duluan.” jawabku tak acuh.
”Tidak bagus, gadis secantik ibu menunggu mobil sendirian di sini. Biar aku tunggu sampai ibu dapat mobil yah!” pintanya memohon.
Aku diam saja tak menjawab, dan rasanya tak perlu juga aku menjawab. Aduh mobil tak kunjung datang. Aku mulai gelisah. Kulihat jam dipergelangan tanganku. Wow sudah jam 5 sore. Sebentar lagi azan magrib.
”Sebentar lagi magrib yah bu, kalau taxsi tak kunjung datang mari saya antar.” tawarnya.
  Aku masih tak menjawab.
”Tiga-tiga!” tiba-tiba sebuah mobil taxsi putih melintas. Uh tiga lagi. Kuacungkan jari telunjukku yang berati satu.
”Satu Expo bang”, pintaku pada supir taxsi agak memelas.
”Maaf mace, penumpang di dalam suh ada ke Perumanas tiga.” jawab supir.
  Aku kembali mematung menanti taxsi berikutnya lewat.
”Ibu, mari saya antar, kita kan sejalan. Hari menjelang magrib. Nanti ibu terlambat shalat magrib.” kata pak Aris menambah kegelisahanku.
Tiba-tiba mobil taxsi putih melintas.
”Satu Expo!” pintaku. Taxsi berhenti, pak supir membukakan pintu.
”Alhamduliliah gumanku dalam hati. Akhirnya ada juga taxsi ke Expo.” aku masuk. Kulihat dari kaca spion pak Aris menjalankan motornya dan berlahan-lahan mengikuti mobil taxsi yang kunaiki.
Sudah cukup lama pak Aris mendekatiku, kalau tidak salah semenjak aku mengajar di SMAN 1 Jayapura ini. Dia sangat sopan dan perhatian. Bukan aku tidak mengerti perhatian-perhatiannya. Namun aku memang tidak membutuhkannya. Aku sudah terbiasa hidup sendiri sejak kecil. Sejak aku mengerti hidup, aku hanya sendiri. Sepi adalah teman setiaku. Ayah dan ibuku entah dimana. Yang aku tahu sejak kecil sampai sekolah dasar aku dirawat kakekku. Kakekku sangat memperhatikan dan melindungiku. Apa-apa yang kuminta selalu dipenuhinya. Kami saling menyayangi, karena kami hidup hanya berdua. Aku kurang mengerti mengapa saat itu pigur nenek tidak ada dalam kehidupan kami. Kakek tidak pernah bercerita tentang nenek dan sepertinya kakek tidak suka bila kutanya tentang nenek.
Menurut cerita kakek pula, ayah dan ibuku meninggal dalam perjalanan pulang naik haji. Kata kakek, ayah dan ibuku sangat menyayangiku. Tapi menurutku tidak. Nyatanya mereka meninggalkanku, saat aku sangat membutuhkan mereka.
Kakekku seorang peneliti, beliau sering pergi ke luar kota untuk urusan penelitiannya. Otomatis aku sering ditinggal sendiri dan aku selalu merasa kesepian. Ketika aku SMP, kakekku meninggalkanku untuk selama-lamanya. Aku sangat terpukul, tidak ada lagi orang yang menyayangiku. Satu-satu mereka meninggalkanku.
Saat itu, oleh teman kakekku aku dititipkan dipanti asuhan. Aku tidak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan panti, semua kurasa asing dan menyiksa bathinku. Aku selalu menyendiri dan semakin sepi. Karena aku merasa setiap orang yang menyayangiku pasti akan pergi membiarkanku sendiri, sepi dan merana. Lama-lama aku akrab dengan kesendirian. Aku merasa tidak membutuhkan teman. Apapun dapat aku lakukan sendirian. Aku merasa pertemanan hanya akan menimbulkan kesedihan dan luka.
Pertama kali aku mengajar di SMAN 1 Jayapura, pernah aku akrab dengan seorang murid dari Nabire namanya Kiten. Kedekatanku padanya karena didorong oleh naluri seorang pendidik dan tanggung jawab wali kelas. Kiten selalu menyendiri tidak pernah ribut atau bercerita dengan teman lainnya. Dia duduk paling pojok. Suatu waktu kudekati dia ketika ia duduk menyendiri di ruang kelas, sementara teman-teman sekelasnya ribut ke luar kelas beristirahat.
”Kiten, kamu tidak ke luar istirahat?” sapaku pelan.
”Tidak ibu, saya sedang mengerjakan tugas Biologi.” jawabnya sangat sopan untuk ukuran siswa model sekarang.
”Ini PR? Mengapa tidak kau kerjakan di rumah!” kataku agak menegur.
”Maaf ibu, saya tidak punya waktu kerja PR di rumah.” jawabnya pelan.
”Mengapa? Kerjamu main yah!” selidikku.
”Tidak ibu, pulang sekolah saya kerja cari uang untuk makan dan uang sekolah.” jawabnya masih dengan nada sopan.
”Oh, maaf. Ayah dan ibumu?” tanyaku menyelidik.
”Orang tuaku di Nabire. Saya sendirian di Jayapura, untuk sekolah di sini.” katanya.
”Di Jayapura kau tinggal di mana?” tanyaku kemudian.
”Saya buat gubuk-gubuk di lereng gunung dekat UNCEN atas.” jawabnya.
”Apa orang tuamu tidak kirim uang sekolah?” tanyaku hati-hati.
”Tidak ibu, orang tuaku miskin. Beliau bukan pegawai, tapi petani kecil.” jawabnya.
”Loo, kok kamu bisa ke Jayapura. Butuh biaya banyak tuh dari Nabire ke Jayapura. Malah harus naik pesawat kan? Kamu banyak uang dong?” candaku.
”Tidak ibu, waktu itu saya jual babi untuk naik pesawat.” jawabnya.
”Ok, kamu selesaikan dulu PR Biologimu, nanti pulang sekolah kamu temui ibu yah!” kataku sambil meninggalkan kelas.
Semenjak itu aku akrab dengan Kiten. Aku mengagumi kegigihannya mengejar ilmu. Dengan kondisi pas-pasan dan serba keterbatasan Kiten selalu datang ke sekolah tepat waktu. PR yang kuberikan selalu dikerjakan walaupun banyak kelirunya, maklum waktu belajar tersita untuk bekerja. Baju seragam yang dikenakan hanya satu-satunya. Maka aku sering melihatnya kumal dan berbau. Uang sekolah selalu ia bayar walau terlambat dan mencicil. Sebagai wali kelas aku tidak tega melihatnya. Maka kubebaskan dia dari membayar uang sekolah.
Pada suatu sore Kiten datang ke tempat kosku.
”Ibu, ibu su bayar saya pung uang sekolah. Apa yang bisa saya kerjakan untuk ibu.” katanya.
”Tidak ada Kiten, yang ibu mau kamu belajar dengan baik saja.” jawabku.
”Aduh ibu, saya rasa tidak enak. Biar saya babat rumput di depan rumah ibu, kah.” katanya sambil mulai membabat rumput di depan rumah kosku yang memang tidak terurus.
”Kiten hari ini kau ada PR tidak? Sebaiknya kau kerjakan PR saja.” jawabku tidak enak.
”Kebetulan tidak ada ibu.” jawabnya.
Semenjak itu, tiap bulan Kiten datang ke rumah kosku untuk membabat rumput dan memelihara halaman rumah. Dia tanamin dengan bunga-bunga yang katanya cantik. Sambil bekerja Kiten selalu bercerita tentang kampung halamannya. Adat suku bangsanya dan bahasa daerahnya. Itu yang membuat kami semakin akrab.
”Ibu, waktu saya taman SMP, bapakku bilang. Kau mau sekolah ke SMA atau sekolah  ilmu-ilmu gaib.” katanya mulai bercerita lagi.
”Loo, emangnya ada sekolah ilmu-ilmu gaib.” kataku tak percanya.
”Yah ada bu. Kalau kita pilih sekolah ilmu gaib. Kita diantar ke gunung. Di sana ada gurunya. Tapi saya pilih SMA aja, karena saya ingin jadi pegawai negeri saja. Kalau jago ilmu-ilmu gaib, paling kita diangkat jadi panglima perang di kampung. Ah tetap saja sengsara bu.” jelasnya polos.
”Masih ada panglima perang di Nabire? Sekarang tuh zaman sudah merdeka.” kataku.
”Perang suku masih ada bu. Lucunya kalau perang, panah diluncurkan ke atas tidak ke pihak lawan. Kalau kebetulan kena, nah itu lawan emang pung dosa besar. Makanya kena jubi. Ha ha ha.” katanya lucu.
”Kok lucu yah begitu. Bagaimana mau kena kalau panah diluncurkannya ke atas.” kataku.
”Yah, begitulah hukum perang di Nabire.” katanya pula.
Biasanya kami bercerita seru sepanjang Kiten mengerjakan kebun. Namun pada suatu sore, dia datang tergesa-gesa tidak seperti biasanya.
”Ibu, saya bawa singkong dan petatas, ini hasil kebunku. Tapi saya tidak bisa kerja kebun hari ini. Badanku panas meriang.” katanya sambil menggigil. Muka Kiten tampak pucat.
”Badanmu panas Kiten, kau sakit malaria yah.” kataku cemas. Jidatnya ragu-ragu kuraba.
”Iya bu, dari kemarin sore, badanku tidak enak, maaf yah saya tidak bisa kerja.” jawabnya.
”Sudah, kau tidak usah pikir itu. Tunggu ibu ganti baju dulu. Kita kedokteryah.” kataku sambil masuk rumah.
Aku bawa Kiten ke dokter praktek. Dari hasil pemeriksaan darah Kiten terkena malaria tropika positif 3. Dokter menganjurkan untuk dirawat.
”Kiten, kamu harus dirawat, biar ibu yang tanggung biayanya.” jawabku. Kiten hanya diam.
Manusia hanya berusaha, Allah yang menentukan. Kiten muridku juga sahabatku satu-satunya dia pergi untuk selama-lamanya setelah dua hari dirawat di rumah sakit. Kembali aku sendiri.
”Ibu turun dimana?” supir taxsi mengagetkanku.
”Up, maaf di expo, gapura.” jawabku terkejut.
Mobil yang kutumpangi berhenti tepat di depan gapura expo. Aku turun dan membayar ongkosnya. Untuk sampai ke rumah kosku, aku harus naik ojek ke Gg Gelanggang 2. Jika belum terlalu sore aku biasa jalan kaki. Tapi ...
”Ibu, mari saya antar, kita kan tetangga.”  tiba-tiba pak Aris sudah ada di sampingku.
”Trimakasih, saya jalan kaki saja.”  jawabku sambil melangkah.
Pak Aris jalan mengikutiku sambil menuntun sepeda motornya. Aku merasa risi dan malu.
”Bapak duluan saja.” kataku sedikit membentak.
”Saya tidak tega lihat ibu jalan sendirian, ibu mau diboncengkan?.” katanya memohon.
Aku tak menyahut. Cepat-cepat aku melangkah, tampaknya hujan mau turun lagi. Pak Aris mengikuti terus. Akhirnya hujan turun lagi.
”Ayo ibu naik, hujan turun lagi.” katanya memaksa.
Tidak ada pilihan, aku naik diboncengnya. Dia menjalankan motor dengan hati-hati. Namun hatiku takut akan kesepian lagi.
”Sudah sampai bu, cepat keringkan badan ibu. Minum air hangat supaya tidak kena flu.” katanya.
”Yah, trimakasih.” kataku. Aku ganti pakaian, cepat-cepat kukeringkan badanku dengan handuk dan kubuat teh manis untuk menghangatkan tubuhku yang mulai menggigil. Yah begitu saran pak Aris.
Bada isya hujan turun semakin deras. Sambil menunggu kantuk aku membaca beberapa ayat suci Al’ quran.  
”Banjir banjir, bu... bangun bu.... banjir.” suara orang teriak-teriak di luar.
Aku kaget terjaga dari tidur. ”Astagfiruloh halazim, sudah berapa jam aku tertidur di kursi.”
”Banjir banjir, buka pintunya bu, air masuk ...” kembali suara orang teriak-teriak.
Ya Allah ternyata air sudah masuk ke dalam rumahku menggenangi lantai. Basah karpet rumahku, lemari bukuku terendam. Wah baju-baju yang belum sempat kubenahi kini hanyut. Gelas dan piring plasti bekas makan tadi malam kini mengapung menuju ke arahku. Ya Allah ternyata memang banjir. Tiba-tiba ”gedubrak ....” pintu dibuka paksa dari luar. Pak Aris menyeretku ke luar.
”Banjirbu, cepat-cepat kita harus mengungsi. Tanggul di atas roboh.” katanya menjelaskan.
”Ayo pegang pundakku, arus kencang sekali, nanti ibu terbawa arus.” perintahnya.
Aku tidak berkata apa-apa selain mengikutinya.
Banjir besar melanda daerah Expo. Katanya tanggul  raksasa jebol. Masyarakat hiruk pikuk menyelamatkan diri.  Anak-anak berteriak mencari orang tuanya. Orang tua ada yang mencari anaknya, ada pula yang berusaha menyelamatkan harta bendanya. Orang-orang berlarian menuju tempat yang tinggi. Suasana hiruk pikuk dalam kegelapan. Listrik padam karena tiangnya roboh diterjang banjir, bulanpun tidak muncul. Air semakin naik sepinggang, sedada, seleher.
”Ibu kita naik benteng ini. Kita harus menuju tempat yang tinggi.” kata pak Aris. Aku mengangkuk lemah. Badanku menggigil kedinginan, kepalaku pening. Dipegangnya tanganku erat-erat. Ada tenaga yang mengalir lewat tangannya. Aku harus selamat. Tiba-tiba benteng yang kami naiki ambruk. Kami terpelanting, aku terbawa arus banjir.
”Ya Allah aku tidak bisa berenang, selamatkanlah aku.” rintihku. Aku mulai terasa badanku hanyut terbawa arus. Beberapa teguk air banjir terminum. Tenggorokan dan mata terasa pedih. Dalam kegelapan aku tidak dapat melihat apa-apa, selain air di sekelilingku. Aku enggan berteriak minta tolong. Karena kata-kata itu tidak pernah aku ucapkan, selain doa pada Allah. Tiba-tiba tanganku diraih.
”Ibu harus kuatnya, kita akan selamat, pegang pundakku.” suara pak Aris berbisik tepat di sampingku.
”Alhamdulilah.” hanya kata itu yang mampu aku ucapkan. ”Bruk...” sisa-sisa benteng menimpah kami.
”Ya, Allah.” aku dan pak Aris berteriak kaget. Cepat-cepat aku menghindar. Tapi kepala pak Aris tertimpa beton. Kepalanya mengeluarkan darah. Tampa sadar kuraih kepalanya dan kubalut dengan baju hangatku. Entah kekuatan darimana munculnya. Aku membopongnya dan menarik menuju tempat yang tinggi. Di sana sudah banyak orang-orang yang menyelamatkan diri. Aku mencari tempat yang aman dan kubaringkan pak Aris di situ.
Hari mulai siang, ketika regu penyelamat muncul dengan membawa bantuan makanan dan obat-obatan alakadarnya. Aku hanya terpaku memandang pak Aris yang memucat. ”Ya Allah, aku takut kehilangannya. Jangan ambil dia dari sisiku, ketika aku mulai memiliki sahabat.” doaku dalam hati.
Tiem medis dari regu penyelamat menuju ke arahku, dan memeriksa kondisi pak Aris.
”Ibu, istrinya?” tanya dokter.
”Bukan, saya teman gurunya.” jawabku gemetar.
”Ibu, kondisi bapak kritis, kami harus bawa ke rumah sakit.” kata dokter.
”Aku boleh ikut dok?” tanyaku memohon.
Kami membawa pak Aris ke rumah sakit  terdekat. Sepanjang jalan aku hanya memandanginya. Dia sempat memegang tanganku, kemudian pingsan sampai di rumah sakit. Dokter membawanya langsung ke ruang UGD.
”Ibu, ada keluarga terdekatnya pak Aris di sini?” tanya tiem medis yang merawat.
”Maaf, saya tidak tahu dok. Setahuku dia kos di sini. Mungkin atasanku tahu.” jawabku.
”Dia harus segera dioprasi. Tulang kepalanya retak. Surat pernyataannya harus segera ditandatangani keluarganya.” jelas dokter.
Ya Allah, aku menjerit dalam hati. Dia celaka ketika berusaha menolongku. Apa yang harus aku lakukan. Apakah aku harus menandatangani surat pernyataan itu. Tapi bagaimana kalau ada apa-apa, nanti aku disalahkan keluarganya.
”Bagaimana, ibu mau menandatangani suratnya.” kembali dokter menanyaiku.
”Dok, saya bukan keluarganya, saya takut kalau ada apa-apa, nanti saya disalahkan.” kataku.

Aku berusaha menghubungi kepala sekolah. Sekali, dua kali, tiga kali, tidak juga nyambung. Akhirnya aku membuat keputusan.      
”Dok, bisa aku menemuinya.” kataku.
”Silahkan, tapi jangan diajak bicara dulu.” kata dokter.
Aku masuk ruangannya, kulihat dia terbaring lemah. Kuhampiri dan kugenggam tangannya. Dia membuka matanya dan tersenyum, bibirnya bergerak-gerak, namun tidak ada suara yang keluar. Kuanggukan kepalaku dan kularang dia bicara. Tangannya memegangku erat sekali sambil tersenyum dan takbergerak selamanya.
Petir terasa menyambar di atas kepalaku, badanku lemas. Gundukan tanah merah ini menjadi saksi yang datang dan yang pergi silih berganti. Air mataku telah habis untuk sebuah kesepian yang tiada ujung.

Kenangan untuk seorang sahabat

Banjir Air Mataku



Banjir Air Mataku

E
     ntah kenapa, setiap kali saya mendengar kata mimpi selalu saja perut ini mual, melilit, sebal dan mual     mau muntah. Aku alergi dengan kata mimpi. Aku benci mimpi. Tapi entah kenapa kata mimpi selalu saja 
terdengar di mana-mana, di rumahku, di rumah pak RT, di rumah pak RW, di kelas, di kantor, di jalan-jalan, pendek kata kemana saya pergi selalu saja orang-orang bicara masalah mimpi, mimpi dan mimpi. Mimpi jadi presiden, mimpi jadi anggota dewan, mimpi dapat jabatan, mimpi jadi orang kaya, mimpi ngantri minyak tanah, mimpi ngantri minyak goreng. Ada juga yang marah-marah hanya karena mimpi tidak dapat jatah beras raskin. Dan herannya, keributan di rumahku selalu saja diawali dengan kata, “aku tadi mimpi…”
          Bu Mer bermimpi lubang kakusnya membludak.
          “Wah, bu Mer bakal dapat rejeki. Selamat, selamat, selamat, ingat nanti traktir aku yah?” Kata bu Ratna sambil mengguncang-guncang tangan bu Mer, taklupa dengan kerlingan licik penuh arti. Yah, maklumlah bu Mer adalah istri pejabat yang boleh dikatakan emang rejekinya selalu membludak. Entah rejeki yang rejeki, entah rejeki dari 10% proyeknya.
           “Benar bu Mer, waktu paitua1 dapat uang kinerja enam juta, bayangkan enam juta rupiah datang ditanggal tua. Tahu ngga, itu karena aku mimpi kakusku membludak.” Bu Sumi menambah data kebenaran tentang mimpi kakus membludak.
          “Kalau saya mimpi dikejar-kejar ular. Ih pokoknya menakutkan. Itu tandanya mau dapat jodoh. Hi hi hi.” Kata bu Tiur sambil cekikikan, satu-satunya teman guru yang masih lajang di sekolah kami.
          Tapi herannya, sebulan setelah bu Tiur mimpi dikejar-kejar ular, sampailah ditanganku surat undangan pernikahannya. Akal sehatku membantah arti mimpi itu. Semua hanya kebetulan saja. Gerutukku dalam hati. Mimpi itu hanya bunga tidur. Apasih hubungannya mimpi dikejar-kejar ular dengan dapat jodoh. Mual, sebal, melilit perutku mendengarnya.
***
          “Ma bangun ma, shalat subuh berjamaah, ayo!” Paitua mengguncang-guncang kasar tubuhku yang masih lemah dan penat, setelah seharian membuat proposal block grant.
           "Iyah, iyah, kenapah sih?” Aku menggeliat malas.
           Tidak seperti biasanya, doa setelah shalat subuh paitua sangat panjang. Mimpi apa dia semalam sampai harus berdoa sepanjang ini. Walau mulai sebal, perut mual, melilit, aku tidak berani mengusik kekhusuan doanya. Apalagi kudengar suaranya semakin lirih dalam isak.
            “Ma, aku mimpi anak kita bermandikan lumpur. Perasaanku tidak enak nih.”
            “Pa, mimpi itu cuma bunga tidur. ”
            “Mimpi yang ini lain ma. Ini semacam pirasat.”
            “Mimpi yah mimpi, pirasat yah pirasat.”
            “Tidak ma, yang ini mimpinya lain. Jangan salahkan papa kalau ada apa-apa dengan anak kita.” Suamiku mulai emosi.
             “Iya, udah nanti pagi kutelepon anak kita.” Kusudahi pembicaraan tentang mimpi. Karena kalau tidak, biasanya berakhir dengan pertengkaran.
              Aku mulai termakan isu mimpi suamiku. Dengan penuh kuatir kutelepon juga anakku yang sedang mondok di pulau Jawa. Melalui pembicaraan ternyata anakku terkena musibah.      Peristiwa anakku kebanjiran adalah biasa, tidak ada kaitannya dengan mimpi suamiku. Sifatnya  kebetulan saja. Sekarang musim hujan, di mana-mana juga kena banjir. Apasih hubungannya mimpi mandi lumpur dengan kebanjiran. Pasti tidak ada. Mimpi itu hanya bunga tidur.
              “Hem, apa kataku, terbukti mimpikukan. Anak kita kena musibah.”
              “Pa, itu kebetulan saja. Wajarkan kalau pondok anak kita kebanjir, karena sekarang musim hujan. Papa dengar sendiri berita-berita di TV semua tentang banjir. Hampir seluruh daerah di pulau Jawa kebanjiran.” Aku bersusaha tidak percaya dengan mimpi.
              “Iya, tapi mimpi papa itu pertanda, kalau anak kita terkena musibah.”
              “Itu kebetulan saja, pa.” Acuh tak acuh aku menjawab.
              “Hati-hati yah, akupun mimpi tentangmu. Mimpiku buruk tentangmu, ma.” Kata suamiku, dengan nada mengancam.
              “Mimpilah, selagi masih bisa bermimpi. Epen lah!” Aku semakin tak acuh.
              “Kuperingatkan sekali lagi, hati-hati, aku mimpi buruk tentang mama.”
Seperti biasa, aku diam untuk menghindari pertengkaran lebih lanjut tentang mimpi.
***


U
jian Nasional yang cukup menegangkan baru saja usai. Sebagai panitia UN, aku dengan teman-teman merasa lega. Persiapan yang ditempuh selama 4 bulan, mulai dari memberi bimbingan intensif, melakukan try out dua kali, telah berakhir tadi siang dengan lancar dan sukses. Aku dan teman-teman panitia seharusnya merasa lega. Tapi penentuan kelulusan yang ditentukan oleh nilai UN ini, membuat kami berharap-harap cemas. Bukan perasaan lega yang kami dapat, tapi kegelisahan dan ketakutan. Akankah anak didik kami lulus 100%. Tapi apa lacur! Ku sms teman-teman panitia.
           “Lihat berita di MetroTV, 17 guru dan kepala sekolahnya di Deli Serdang tertangkap basah sedang memperbaiki LJK siswa. Mereka dituntut 7 tahun penjara.”
           Sms masuk. “Iyah, aduh kasihan, mereka adalah korban sistem.”
           "Tim sukses, yang tidak sukses.” Satu sms lagi masuk.
           “Perbuatan mereka, dosa tidakyah?” Satu sms kukirim.
           “Yah dosa dong, HARAM.” Jawabnya dalam sms.
           “Kalau saya orang tua murid, saya akan berdemo. Mereka harus dibebaskan. Gimana, kita himpun teman-teman atau ketua PGRI untuk berdemo?” Sms lain.
           “Kayanya masalah ini adalah waktu yang tepat untuk menjalankan rencana kita.”
           “Yah, yah aku setuju.” Jawabku dalam bentuk sms juga.
           “Ada apa dari tadi ta tut ta tut bunyi sms masuk.” Suamiku menyela kesibukanku bersms.
           “Yah, biasa sms hallo met malam keteman-teman.” Jawabku menghindar.
           “Lihat berita di Deli Serdang? Jangan berbuat macam-macam.” Ancamnya, seperti tahu rencana apa yang akan kususun.
           “Hati-hati, aku mimpi tidak baik tentangmu.” Katanya sambil berlalu.
           “Mimpi lagi, mimpi lagi.” Tiba-tiba aku jadi sewot dan jengkel.
           “Et hati-hati, aku cuma mengingatkan, mimpiku buruk tentangmu.”
           “Ah, itu cuma mimpi kosong, tidak akan terbukti.” Tiba-tiba emosiku memuncak.
           “Aku mimpi kamu terseret banjir, tenggelam.” Suamiku menegaskan.
           "Aku tidak percanya.” Ego ilmiahku merasuk jiwaku. Tapi terselip rasa takut yang mencekik. Tiba-tiba aku sakit hati dengan mimpi suamiku. Kata mimpi kini berubah,  bukan saja membuatku sebel, mual dan melilit. Namun kini membuatku jadi gelisah.
            Rencana membuka kebenaran telah lama kami susun, cuma belum ada waktu yang tepat. Sebagai ketua tim penggerak hati nurani –begitu kami menyebut tim kami-, aku harus mengatur strategi. Saat itu, kami akan menjadi pahlawan bagi teman-teman guru. Bayangkan sejak hak guru memberikan penilaian akhir dicabut. Sejak itu pula sekolah kami terpuruk. Sejak itu pula sekolah kami mendapat caci maki kepala dinas. Sejak itu pula telinga kami harus kebal. Sejak itu pula kami harus repot menjelaskan kepada bapak ibu wali murid yang datang dengan parang, tombak dan panah, karena anaknya dinyatakan tidak lulus.
            Nilai UN janganlah dijadikan penentu kelulusan. Serahkanlah kepada kami sebagai gurunya, yang telah tiga tahun memesrainya. Kami sudah lama ikhlas dengan gajih kami yang dikebiri. Uang lauk pauk yang lama tidak dibayar. Yang tidak pernah menikmati uang kinerja seperti pegawai lainnya. Yang nasib sertifikasi gurunya masih terkatung-katung, entah dibayar entah tidak. Tapi tolong janganlah hak kami untuk dapat memberikan penilaian terakhir pun dikebiri. 
             Apa yang dapat kami lakukan jika anak didik kami hanya memiliki semangat, tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk bersaing. Mereka sudah cukup bangga bisa pergi ke sekolah. Walaupun mereka cukup repot untuk dapat menyisihkan waktu dari pekerjaan utamanya di ladang dan di kebun. Parang adalah nyawanya, hidupnya. Bagaimana mau kita ganti dengan buku, dengan pinsil, dengan rumus-rumus. Jika untuk mengisi perutnya saja mereka harus berjuang sendiri. Mereka tidak bercita-cita tinggi. Hanya ingin sedikit menaikkan harkat martabatnya sebagai manusia Indonesia yang berpendidikan. Apakah mereka harus jadi korban suatu sistem yang masih banci?     
***
             “Bapak, ibu guru, tolonglah saya!” Suatu hari kepala sekolah mengumpulkan kami.
             “Tahun ini kita harus mampu menaikan jumlah kelulusan.” Lanjutnya.
             “Bapak, kami sudah merencanakan untuk melakukan bimbingan intensif dan melakukan try out.” Wakasek kurikulum menjelaskan.
              “Baik, itu sangat bapak dukung. Tapi adakah cara lain selain itu.”
              “Kita optimis saja, program bimbingan insentif akan berhasil menaikan angka kelulusan.”
              “Baiklah, bapak sangat mendukung. Jangan lupa hasil try outnya sampaikan pada saya.”
              “Pasti bapak.”
Suatu hari, kudengar pembicaraan serius di ruang kerja kepala sekolah.
              “Hasil try out sangat rendah, diperkirakan 30% saja yang dapat lulus.” Seperti suara yang kukenal.
              “Kalau begitu hasilnya, kita siap dicaci maki orang tua murid lagi. Terdengar suara kepala sekolah putus asa.
Bagaimana tidak gagal, banyak orang tua yang protes, karena jam kerja anaknya di ladang berkurang. Wal hasil kegiatan bimbingan intensif hanya diikuti segelintir orang. Apapun bentuknya, pendidikan tidak akan berhasil baik, jika urusan perut belum teratasi.
***
              Kini, aku dan teman-teman tim penggerak hati nurani lainnya menghuni sel tahanan. Mengapa bisa!!
Demo dimulai dengan pembacaan narasi penolakan nilai UN sebagai penentu kelulusan. Isi narasi menyatakan bahwa UN telah banyak menuai kebohongan dan menimbulkan penipuan. Tragedi 17 guru di Deli Serdang tidak akan terjadi, kalau hak guru memberikan penilaian tidak dirampas. Kemudian demo dilanjutkan dengan dramatisasi oleh sebagian guru.
“Coba lihat nilai UN matematika si Mario nilainya 8. Diakan anak yang bodoh dan pemalas.”
            “Yah, nilai UN matematika si Kiten juga dapat 7. Kok bisa yah?”
            “Si Kiten kalau ulangan harian, nilainya tidak pernah melebihi angka 3.”
            "Seharusnya si Kiten tidak boleh lulus. Coba bayangkan, waktu ujian praktek, kami dibuatnya repot.”
            “Repot bagaimana pak Sukar?”
            “Bagaimana tidak repot, 3 kali kuberi dia kesempatan untuk ikut ujian praktek. 3 kali pula dia jawab epenkah2 . Kalau bukan karena bujukan wali kelasnya, malas saya memberi kesempatan keempat.”
            “Nah itulah, dari dulu juga aku tidak setuju, kalau kelulusan ditentukan dengan nilai UN.”
            “Coba lihat nilai UN Marinten, masa dia cuma dapat 5. Dia kan lebih pandai dari Kiten.”
            “Rasanya tidak adil, si Kiten yang bodohnya minta ampun bisa lulus dengan nilai 7. Masa Marinten yang kita tahu kualitas kemampuannya hanya lulus dengan nilai minimal.”           “Sepertinya ada kebocoran soal.”                           
“Yah, yah … soal sudah bocor. Tapi siapa yang membocorkannya?”
            Demo yang tadinya berjalan aman, tertib, tiba-tiba menjadi anarkis. Pembakaran ban-ban sepeda, motor, mobil di mana-mana. Terjadi lempar-lemparan batu, dorong-mendorong antara pendemo dengan aparat keamanan. Aku ikut terseret arus pendemo yang tiba-tiba datang membludak. Akupun heran mengapa jumlah pendemo jadi berlipat-lipat. Terdengar suara yel-yel aneh yang tidak kami rencanakan. Dari mana arahnya, aku tidak tahu persis. Suasana sudah tidak terkendali. Hiruk pikuk tak menentu.
Tiba-tiba suara letusan senjata ditembakan berulang-ulang. Pendemo bubar kocar-kacir menyelamatkan diri. Aku dan tim penggerak hati nurani terpaku ditengah-tengah arus manusia yang melarikan diri. Katanya demo kami ditumpangi. Akhirnya kami diamankan.  
            “Ibu, ibu.” Sipir penjara membuyarkan lamunanku.
            “Suami ibu ingin bertemu, dia menunggu di ruang tamu. Mari saya antar.” Katanya lebih lanjut. Aku mengikutinya hening. Kulihat suamiku bersama anak-anakku telah menunggu. Kakiku tak sanggup lagih melangkah lebih dekat padanya. Perih hatiku, teriris rasa jiwaku, perasaanku turut tercabik-cabik ketika kulihat suamiku, anak-anakku meneteskan airmata untukku.
            “Jangan kau sepelekan arti mimpiku.” Bisiknya pelan ditelingaku.          
Kini mimpi itu menjadi moster yang menakutkan. Tolong selamatkan aku dari banjir air mataku, bajir air mata anak-anakku, banjir air mata ibuku, kakakku, adikku dan tentu banjir air mata suamiku.
                                                           
                                                     Awal bulan Mei 2008
                                      Untuk ke-17 Guru di Deli Serdang. Tabahlah
Keterangan:
1. Paitua                       = suami
2. Epenkah                   = pentingkah

Membangun Papua Melalui Pendidikan


Oleh: Dra. Eulis Anggia Budiarti, M. Pd.

Bila masyarakat Indonesia ditanya tentang masa depan bangsa apa yang diimpikannya. Pasti mereka akan menjawab, bahwa mereka memimpikan bangsa Indonesia yang merdeka dari segala bentuk penjajahan dan penindasan, adil, sejahtera lahir batin, aman sentosa, damai, makmur, dan sebagainya dan sebagainya. Namun nyatanya, kita bukanlah hidup di dunia mimpi yang bermimpi memiliki suatu negara yang makmur. Kita hidup di dunia nyata yang memang memiliki negara rawan konflik, rawan bencana, rawan kecelakaan, dan rawan peraturan.
Kita boleh berharap untuk suatu keadaan yang lebih baik. Karena jika kita tidak punya harapan, berarti kita pasrah dengan keadaan. Aku sebagai guru memimpikan  masa depan bangsa sesuai dengan profesiku. Yaitu suatu bangsa yang memiliki sistem pendidikan yang patut ditiru oleh negara lain. Pendidikan yang dapat dibanggakan di mata dunia dan menjadi model pendidikan dunia. Jadi boleh lah kita membangun bangsa Indonesia berawal dari pendidikan.

Selasa, 19 April 2011

Terjadinya Pohon Kelapa di Asmat


LEGENDA TERJADINYA POHON KELAPA
DI DAERAH ASMAT

Cerita rakyat berasal dari Folklor suku Asmat
Ditulis Oleh: Dra. Eulis Anggia Budiati Guru SMAN 1 Jayapura


I
ni adalah kisah asal mula terjadinya pohon kelapa di daerah Asmat. Orang mungkin tidak tahu ada kisah sedih dibalik besarnya manfaat pohon kelapa.
Kisah ini berasal dari sebuah kampung yang terletak di hilir sungai Fait dari pantai Safan, hiduplah sepasang suami istri yang berbahagia. Suami bernama Biwiripit sedangkan istrinya bernama Teweraut. Mereka memiliki seorang anak tunggal yang sangat dikasihi dan dicintainya bernama Cipriw. Karena Cipriw merupakan anak tunggal, maka dia sangat dimanja, namun sayangnya sangat penakut. Sifat penakut Cipriw inilah yang menggoreskan kisah tragis yang dalam.

Pada suatu hari yang cerah ketika mereka duduk-duduk dekat tungku sambil membakar sagu dan daging kasuari hasil buruan Biwiripit.
“Cipriw, kau anak laki-lakiku satu-satunya, kau tra boleh panakut. Kau sudah besar, kau harus ganti bapak menjaga mama, menjaga kampung, dan  kau juga harus menjadi pemburu yang tangguh di kampung ini.” Begitu Biwiripit mulai menasihati Cipriw.
“Cipriw kan masih kecil, jadi masih penakut tra apa-apa.” Tiba-tiba Teweraut membela.
Cipriw hanya diam saja sambil tidur-tiduran dipangkuan ibunya.
“Cipriw sudah besar, dulu aku juga sebesar itu sudah belajar berburu, buat panah sendiri, belajar mengukir patung, dan aku disuruh tidur di rumah jew dengan laki-laki lain oleh kakekmu Cipriw. Nah, kamu mulai besok tidurlah di rumah jew dengan bapak. Jangan kau bermanja-manja terus di ibumu.” Biwiripit menasihatinya lagi.
“Biarlah untuk beberapa hari lagi, Cipriw belum cukup besar untuk tidur di rumah jew.” Kembali Teweraut menjawab.
“Itulah, kau selalu membelanya terus, makanya Cipriw penakut terus.” Biwiripit agak marah, kemudia ia meninggalkan istri dan anaknya untuk tidur di rumah jew –rumah panjang tempat berkumpul dan tidur para lelaki dewasa, disebut juga rumah bujang--.

Hari mulai malam para lelaki dewasa di kampung ini selalu berkumpul di jew, sedangkan istri-istri mereka, anak-anak wanita dan anak laki-laki yang masih kecil tidur di rumah mereka masing-masing. Cipriw si penakut selalu tidur dekat ibunya membungkus diri dengan tapin --tikar-- yang terbuat dari daun pandan.

Rumah tinggal mereka jauh dari jew --rumah tinggal para bujang--. Di antara jew dan rumah tinggal mereka tumbuhlah sebatang pohon ucuw --beringin--. Semua penduduk kampung sangat menyakinin bahwa di dalam pohon ucuw tinggallah sepasang roh yang baik. Mengapa baik, karena roh tersebut tidak pernah mengganggu penduduk kampung. Bahkan roh di pohon ucuw tersebut sering memberi pertolongan pada seisi kampung. Apalagi jika penduduk kampung yang meminta sesuatu, sudah pasti roh di pohon ucuw akan mengabulkan permintaan tersebut.

Namun sayang Cipriw, anak tunggal Biwiripit dan Teweraut sangat takut kepada roh baik yang ada di pohon ucuw itu. Setiap kali hendak masuk ke dalam jew Ciprit selalu berlari dari rumah kemudian masuk ke dalam tapin. Hal ini terjadi baik pada waktu pagi hari maupun siang hari, terlebih pada waktu malam hari.

“Tewe, mulai besok anak kita harus tidur di rumah jew. Kamu tidak boleh melarangnya. Kalau kamu menahannya terus, artinya kamu melanggar adat. Kamu tahukan akibatnya kalau kita melanggar adat.” Kata Biwiripit tegas.
“Aku tahu, tapi anak kita ini sangat penakut. Apalagi jika harus melewati pohon ucuw di depan jew itu.” Kata Teweraut.
“Justru karena penakut itulah, dia harus belajar jadi pemberani. Di rumah jew anak kita akan mendapat pelajaran dari tua-tua adat supanya menjadi pemuda yang gagah berani.”
“Saya malu jika punya anak penakut.” Kata Biwiripit menambahkan lagi.
“Yah, terserah kamu lah.” Teweraut akhirnya mengalah.
“Nanti malam saya akan ajak Cipriw tidur di jew, awas kamu tidak boleh menghalangi-nya lagi! Paham Tewe!”
Teweraut hanya mengangguk, dia tidak bisa membantah lagi. Karena dia tahu hukum adat di kampungnya memang begitu. Jika dia membantahnya, maka dia akan di hukum juga anaknya. Tanpa bicara lagi, Teweraut ke dapur untuk menyalakan tungku. Dia akan membuat sagu dan daging bakar untuk bekal Cipriw di jew.

M
ulai hari itu, Biwiripit sudah melarang Cipriw tidur dengan ibunya, sebagai anak yang sudah cukup umur Cipriw sudah harus tidur di rumah jew bersama laki-laki dewasa lainnya. Namun sayang Cipriw selalu tidur lebih awal dari teman-temannya. Ketika gelap mulai turun Cipriw berbaring lebih dulu sambil membungkus diri di dalam tapin, ia tidak berani tidur sendiri, selalu diantara orang banyak.

Karena ia selalu tidur lebih awal, maka ia hampir tidak pernah mengikuti pelajaran yang diajarkan tua-tua adat pada malam hari menjelang tidur sambil duduk-duduk melingkari bara api di tengah-tengah jew. Saat-saat seperti itu, ketua adat akan bercerita tentang kejayaan-kejayaan nenek moyang mereka dalam peperangan, menceritakan dongeng-dongeng atau legenda-legenda rahasiah tentang nenek moyang yang tidak boleh tersebar kepada suku lain. Di rumah jew pula orang-orang tua mengajarkan orang-orang muda tentang teknik berperang, merencanakan pembalasan kepada suku lain atau pengayauan –pembalasan dengan membunuh lawan--. Sekali-kali mengajarkan anak-anak muda tentang tatacara memahat patung, membuat patung embis, membuat panah dan bagaimana cara menggunakannya. Pendek kata di dalam jew anak muda diajar agar tumbuh menjadi pemuda yang tangguh, gagah berani dan siap melindungi kampungnya bila diserang oleh kampung lain. 

Ternyata kelakuan Cipriw yang selalu tidur lebih awal karena takut kepad roh yang tinggal di pohon ucuw tidak luput dari perhatian roh tersebut. Roh ucuw terus mengamati tingkah laku Cipriw si penakut. Entah karena apa, roh ucuw yang baik itu sangat jengkel dan merasa tersinggung dengan kelakuan Cipriw. Roh itu tidak habis pikir mengapa Cipriw sangat takut padanya, sementara penduduk kampung yang lainnya sangat menghormati dan mengaguminya sebagai roh yang baik. Roh yang selalu mengabulkan segala permintaan mereka.
“Kenapa anak ini selalu takut kepada saya, padahal penduduk kampung yang lain mengangap aku sebagai roh baik. Aku selalu mengabulkan permintaan mereka. Awas suatu saat nanti akan saya ambil dan akan saya bunuh.” Begitu kata roh ucuw dalam hatinya.

M
ata pencaharian penduduk kampung hilir sungat Fait adalah berburu ke hutan. Banyak binatang buruan di belantara hutan Asmat. Hasil buruan mereka lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga mereka. Begitu pula, setiap hari ayah Cipriw, Biwiripit sangat sibuk berburu babi, kasuari, dan binatang hutan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Setiap kali Biwiripit berburu, ia selalu membawa Cipriw, dengan maksud agar Cipriw mau melihat dan belajar bagaimana cara berburu yang baik. Namun sayang karena Cipriw penakut, maka ia tidak mau berburu jauh-jauh dari ayahnya. Ia selalu berada tepat di belakang ayahnya. Kemana ayahnya melangkah, Cipriw selalu mengikutinya.
“Cipriw coba kau halau babi yang ada di sebelah kanan.” Perintah Biwiripit.
“Aduh bapak jangan kah, saya kan takut kalau harus jalan sendirian ke sana. Di hutan ini pasti banyak roh.” Kata Cipriw ketakutan.
“Cipriw, kalau kau terus-terusan penakut begini, bagaimana kau bisa jadi pemuda yang gagah berani.” Kata Biwiripit mulai marah.
“Tapi bapak, saya memang takut, saya tidak berani ke sana sendirian.” Kata Cipriw. Ia merasakan kakinya mulai kaku, dia tidak mampu lagi mengangkat kakinya. Dia gemetar, dan akhirnya jatuh pingsan ketakutan.
Melihat kondisi anaknya yang jatuh pinsan ketakutan, Biwiripit pun tidak berani memaksa anaknya lagi untuk pergi berburu sendirian. Bagaimana pun Biwiripit teramat kasih kepada anak tunggalnya itu.

Setiap kali pulang berburu, bapaknya selalu membawa barang buruan ke rumah jew terlebih dahulu. Cipriw selalu berlari cepat-cepat memasuki jew, ia takut melewati pohon ucuw yang ada rohnya. Cipriw akan cepat berlari, kemudian menyembunyikan dirinya di dalam gulungan tapin. Begitu setiap kali ia lakukan. Sementara roh ucuw terus mengamatinya. Roh ucuw semakin tersinggung dan marah melihat tingkah laku Cipriw. “Awas, kalau beberapa hari lagi, Cipriw masih tetap takut padaku, akan saya bunuh.” Begitu roh ucuw merencanakan suatu pembunuhan.
“Tapi sebaiknya akan aku beri peringatan terlebih dahulu.” Bisiknya dalam hati.

Hingga pada suatu malam yang sunyi roh ucuw masuk ke dalam jew, dengan hati-hati ia mengambil Cipriw beserta tapin yang melingkarinya tempat Cipriw menyembunyikan dirinya dari roh ucuw. Cipriw dibawanya ke tepi pantai Safan dan meletakannya begitu saja bersama tapinnya di pinggir pantai. Roh ucuw pun kembali ke pohon ucuw.

Keesokan pagi ketika mentari mulai akan menampakkan dirinya Cipriw terjaga karena merasa kedinginan ditiup angin laut yang menerpa dirinya. Ketika betul-betul ia terjaga, Cipriw merasa sangat terkejut dan heran bukan kepalang, karena mendapatkan dirinya telah berada di tepi pantai, bukan di dalam jew, tempat ia biasa berbaring menjelang tidur bersama teman-teman dan bapaknya. Melihat kenyataan ini, Cipriw sangat ketakutan. Ia lari terbirit-birit kembali ke dalam jew dan membangunkan bapak dan teman-temannya yang masih terlelap dalam mimpi masing-masing. Namun, bapak dan teman-temannya tidak ada yang terjaga, mereka masih lelap. Karena mereka tidur sangat larut malam. Tadi malam mereka asik mendengarkan cerita tentang pengayauan yang dilakukan nenek moyangnya dalam pembalasan ke kampung sebelah. Akhirnya Cipriw membungkus dirinya kembali dengan tapin seperti semula.

Roh pohon ucuw melihat bahwa Cipriw telah kembali dengan selamat. Roh ucuw pun sangat geram.
“Oh, awas Cipriw, kali ini aku akan membunuhmu.” Begitu bisiknya dalam hati.
Maka roh ucuw pun segera masuk ke bawah kolong jew dengan membawa panah. Dengan penuh amarah roh ucuw menusuk Cipriw dengan anak panah tepat di pelipis kiri tembus hingga ke pelipis kanan. Seketika Cipriw si penakut itupun tewas. Roh ucuw pun tidak mencabut anak panah itu, sehingga Cipriw terkapar dengan anak panah tetap menancap pada pelipisnya.

Sementara hari semakin siang, sinar mentari terang benderang menyinari perkampungan hilir sungai Fait. Semua orang yang tertidur di jew telah terjaga dari mimpinya. Mereka mulai sibuk dengan aktifitas masing-masing, ada yang mengasah panah, ada yang membuat bara api untuk membakar daging babi sisa malam tadi, ada yang mengambil air, ada pula yang mulai memahat menyelesaikan ukiran patung bis pesanan keluarga yang meninggal. Di antara kesibukan itu yang terlihat hanya Cipriw yang belum terjaga. Maka salah seorang membangunkan Cipriw tanpa membuka tapin yang membungkusnya terlebih dahulu.
“Cipriaa…!! Cipriaa…!! Buyumbutita….!! Cipriw bangun sudah!” Teriaknya.
Tidak ada jawaban.
“Cipriaa…!! Buyumbutita …! Cipriw eee bangun sudah!” Kembali ia berteriak sambil mengguncang-guncang Cipriw.
Cipriw tetap terbaring tak bergerak.
Sekali lagi Cipriw dibangunkan. “Buyumbutita…!! Buyumbutita..!1 Cipriaa…!! Bangun sudah!” Begitu ia berteriak membangunkan Cipriw.
Tetapi tidak ada tanda bahwa Cipriw mendengarkan suara itu. Isi tapin tetap membisu dalam kaku yang dingin.
Temannya merasa heran dan penasaran, tidak biasanya Cipriw tidur sampai sesiang ini. Biasanya Cipriw bangun lebih awal dari teman-temannya, karena ia berbaring lebih awal pula. Maka dengan rasa penasaran dibukalah dengan segera tapin Cipriw.
“Roh yang agung, tolong…!!” Ia berteriak terkejut dan sangat ketakutan ketika mengetahui Cipriw telah terbujur kaku tanpa nyawa dengan anak panah menembus pelipis kiri hingga tembus pelipis kanan.  
“Tua adat…bapak…teman-teman, tolooong…. Cipriw telah meninggal.!” Dia melolong berteriak sekencang-kencangnya memanggil tua-tua adat, bapaknya Cipriw dan teman-temannya yang ada di jew.
Sekali lagi ia berteriak memanggil-manggil orang-orang yang ada di jew untuk menyaksikan keadaan Cipriw.
Orang tua Cipriw yang sudah ada di rumahnya dipanggil. Keduanya dengan tergesah-gesah pergi menuju jew. Mereka mendapai anak tunggalnya sudah terbujur kaku meninggalkan semua yang dicintainya dengan cara mengenaskan. Meledaklah tangis Biwiripit dan Teweraut meraung-raung, mereka berguling-guling melumuri diri dengan lumpur. Demikian pula dengan penduduk seisi kampung larut dalam duka teramat dalam. “Ini pembunuhan yang menuntut balas dalam pengayauan.” Begitu bisik hati mereka. Hari itu merupakan hari bergabung bagi Cipriw yang malang.

M
elalui proses adat, senjapun datang menghampiri. Matahari tergelincir di langit sebelah Barat, seolah-olah dalam cahaya pucat yang suram ikut berduka bagi Ciprim yang mati mengenaskan.
Ciprim diantar ke tempat pembaringan, kemudian dikuburkan di jewsen -- di depan jew – dengan anak panah yang masih tetap tertancap di pelipis kirinya yang menembus pelipis kanan. Panah itu tidak dicabut terkubur besama jasad Cipriw yang malang.

Pada malam hari ketika kampung telah sunyi, tiba-tiba timbul keajaiban yang kelak akan mengukir sejarah, sebuah legenda telah hadir. Tumbuhlah sebatang pohon aneh tepat di atas kuburan Cipriw. Pohon tersebut tumbuh sangat subur dan berbuah sangat lebat. Batangnya besar dan kokoh, buahnya pun besar-besar.
Keesokan harinya, ketika orang-orang terjaga, mereka sangat heran dan saling bertanya satu sama lain akan tumbuhnya pohon aneh di atas kuburan Cipriw.
“Teweraut, lihatlah keajaiban apa yang terjadi di atas kuburan anak kita.” Kata Biwiripit sambil menunjuk pohon aneh.
“Entahlah Biwi, akupun tidak tahu.” Teweraut pun sangat bingung.
“Apakah ini berarti roh nenek moyang kita telah menerima Cipriw di alam sana? Tewe.” Kata Biwiripit meminta persetujuan istrinya.
“Yah Biwi, Cipriw adalah anak yang baik, pasti nenek moyang menerimanya.” Teweraut mempertegas pendapat suaminya.
“Kira-kira apakah nama pohon ini?” Tiba-tiba penduduk kampung bertanya-tanya.
“Entahlah, pohon ini aneh, seumur hidup aku baru melihatnya.” Seorangtua adat menjawabnya.
“Apakah orang dapat memakan buahnya?” Pertanyaan lain muncul.
“Tidak tahu juga. Pohonnya saja baru kita lihat.” Seseorang menjawab dari belakang.

Pagi itu juga semua candiwis dan puwas – ipar-ipar dan menantu – berkumpul di depan jew mengelilingi pohon aneh yang berbuah dengan lebat. Seseorang yang berani memetik buah itu, lalu dikupas kulitnya. Air yang berada dalam buah itu awalnya diberikan kepada seekor anjing untuk memastikan apakah air buah itu dapat diminum atau tidak. Ternyata anjing yang meminum air buah itu tidak mati. Maka penduduk kampung bersepakat bahwa air buah itu dapat diminum oleh manusia. Begitu pula dengan daging buah itu dicobakan kepada anjing. Karena anjing tidak mati, maka semua penduduk kampung akhirnya memetik buah itu dan memakannya. Namun tak seorangpun tahu apa nama pohon aneh itu.

Ketika mengupas kulit buah, mereka mengamati isi di dalamnya. Tampaklah seperti garis mata, mulut serta bekas hidung Cipriw. Mereka berkeyakinan bahwa pohon ini jelmaan dari Cipriw.

Suatu hari orang tua Cipriw, Biwiripit dan teweraut bermimpi. Dalam mimpinya ia mendapat pesan untuk menamakan pohon itu jisin, yang artinya pohon kelapa, adapun buahnya bernama akyamanmak, artinya buah yang berasal dari orang mati.
Paginya Biwiripit dan Teweraut mengabarkan kepada seluruh kampung.
“Saudara-saudaraku penduduk kampung, tadi malam kami bermimpi yang sama.” Begitu Biwiripit mulai bicara.
“Apa yang ada dalam mimpimu Biwi.?” Seorang penduduk kampung menyela dengan tidak sabar.
“Dalam mimpi, kami mendapat pesan bahwa pohon aneh berbuah lebat yang tumbuh di atas kuburan Cipriw haruslah diberinama jisin – pohon kelapa --. Sedangkan buahnya bernama akyamanmak, artinya buah yang berasal dari orang mati.” Begitu Biwiripit menyampaikan isi mimpinya.
“Baiklah, mulai sekarang pohon aneh ini kita namakan jisin, dan buahnya akyamanmak. Karena memang dia berasal dari jasad Cipriw.” Kata ketua adat menegaskan.

Sejak itu, pohon aneh tumbuh pada banyak tempat di Asmat, dan orang-orang Asmat menyebutnya sebagai pohob jisin atau pohon kelapa.